ABC

Layanan Wisata di Yogyakarta, Bali dan Lombok Menunggu ‘New Normal’

Artikel ini diproduksi oleh ABC Indonesia.

Meskipun pandemi COVID-19 belum berakhir di Indonesia, layanan wisata di tiga kawasan wisata popular, seperti Yogyakarta, Bali dan Lombok sudah tidak sabar menunggu kebijakan ‘new normal’ dari Pemerintah Indonesia.

Beberapa layanan bisnis sudah beraktivitas lagi, berharap keadaan akan kembali normal di bulan Agustus atau September.

Hari Kamis (4/6/2020), ABC Indonesia berbincang dengan beberapa orang di Gili Terawangan (Lombok), Bali dan Yogyakarta yang bergerak di bidang pariwisata, seperti pengelola resor, pemilik properti yang menyewakan rumahnya melalui airbnb, pengusaha, manajer restoran dan juga sopir atau pemandu wisata pribadi.

Ahmad Kusuma adalah manajer Resor Black Penny Villas di pulau Gili Terawangan di Lombok yang selama tiga bulan terakhir tutup karena pandemi.

Menurut Ahmad Kusuma kepada Sastra Wijaya, wartawan ABC Indonesia, pariwisata Lombok sangat bergantung kepada Bali seperti sebelum pandemi.

“Sudah ada beberapa daerah di Indonesia mulai persiapan new normal untuk destinasi wisatanya,” tambahnya.

Gugusan Pulau Gili di Lombok bersiap untuk kembali kehidupan 'new normal' di tengah pandemi COVOD-19.
Gugusan Pulau Gili di Lombok bersiap untuk kembali kehidupan 'new normal' di tengah pandemi COVOD-19.

Foto: Supplied

“Namun ini tergantung dari pemerintah provinsi dan pemerintah daerah juga. Meski diberikan restu, mereka ingin me-review dulu karena kekhawatiran ada gelombang kedua wabah.”

Sejauh ini menurut Ahmad, daerah seperti Jawa Barat, Yogyakarta dan Bali masih belum mau membuka destinasi wisatanya,” tambah Ahmad.

Di Gili Terawangan sendiri, menurut Ahmad Kusuma, sekarang sedang dilakukan persiapan dan sosialisasi Protokol Kesehatan gabi sektor pariwisata.

“Tanggal 11 Juni akan dilakukan pengasapan di seluruh pulau tersebut dengan pemda, penggiat wisata dan masyarakat,” katanya lagi.

Resor ‘Black Penny’ yang Ahmad memiliki 23 unit vila yang bisa menampung 50 tamu, 1 restoran dengan kapasitas tempat duduk untuk 100 orang, dan 1 bar dan restoran dengan kapasitas 150 orang.

Selama tiga bulan terakhir, menurut Ahmad, hampir tidak ada kegiatan ekonomi di Pulau Gili Terawangan karena pembatasan penerbangan internasional dan larangan perjalanan di dalam negeri.

“Di masa normal di vila kami, untuk restoran kami bisa melayani sekitar 7 ribu sampai 8 ribu orang, sementara vila 500-600 orang setiap bulannya.”

Ahmad Kusuma manajer Black Penny Resort di Gili Terawangan Lombok
Ahmad Kusuma manajer Black Penny Resort di Gili Terawangan Lombok

Foto: Supplied

Ahmad berharap keadaan akan segera pulih dalam 1-2 bulan mendatang.

“Jika Oktober secara global masih ada peningkatan kasus, maka sektor pariwisata akan mati suri berkepanjangan,” katanya.

Tidak saja bisnis besar, namun juga perorangan

Dampak pandemi COVID-19 tidak saja dirasakan oleh bisnis besar, namun juga warga perorangan yang menggantungkan hidup dari sektor pariwisata.

Karena itu beberapa diantara mereka terpaksa beralih kegiatan sambil menunggu kehidupan pulih kembali.

Made, yang meminta tidak disebut nama belakangnya, sudah belasan tahun menjadi sopir dan menyewakan mobilnya untuk turis.

“Saya sudah selama 3 bulan ini menjadi petani. Saya menanam pisang, dan sayuran yang cukuplah untuk kosumsi sendiri,” katanya kepada ABC Indonesia.

Seorang pemilik biro perjalanan di Bali juga harus beralih ke usaha lain untuk sementara.

“Sekarang banting setir jualan oleh-oleh khas Bali seperti daster, baju bali, makanan khas seperti pia, pie susu,” katanya.

“Sebelumnya usaha saya adalah menjual Transport Voucher, hotel Voucher, paket tur objek wisata dan kegiatan wisata di Bali.”

Berdomisili di Bali tapi memiliki penginapan di Yogyakarta

Rita Utomo memiliki beberapa airbnb di Yogyakarta yang harus berhenti operasi di tengah pandemi COVID-19 saat ini.
Rita Utomo memiliki beberapa airbnb di Yogyakarta yang harus berhenti operasi di tengah pandemi COVID-19 saat ini.

Foto: Supplied

Salah satu pengusaha di sektor pariwisata yang masih berusaha bertahan dalam keadaan sulit ini adalah Rita Utomo yang tinggal di Bali namun memiliki usaha penginapan di Yogyakarta.

Selain menyewakan propertinya melalui airbnb, yang baru dilakukannya selama 3 tahun terakhir, Rita juga memiliki bisnis menjual kunci elektronik untuk hotel-hotel di Indonesia.

Menurut Rita, walaupun sudah ada kegiatan perekonomian di Indonesia di bulan Juni, untuk bisnis pariwisata, perhotelan diperkirakan baru mulai normal di bulan Agustus.

“Karena saat ini juga penerbangan belum beroperasi normal. baik untuk domestik maupun internasional.”

Menurut Rita, alasan ia menutup penginapan yang dimilikinya di Yogyakarta selain karena peraturan pemerintah juga karena tekanan dari warga sekitar.

“Sebetulnya kalau satu dua tamu domestik masih ada yang mau menginap, tetapi kita tolak karena tidak mau friksi dengan warga sekitar,”

“Ini karena dari lingkungan sekitar kita tidak boleh menerima tamu atau orang asing terlebih dahulu.”

Sejauh ini Rita mengatakan masih bisa membayar gaji 12 karyawan penginapan miliknya.

“Saat ini saya total ada 12 karyawan [penginapan untuk] airbnb, untuk karyawan sendiri tidak terpengaruh banyak, karena mereka masih menerima gajinya seperti biasa.

“Hanya pengaruh ke mereka tidak ada tambahan uang service bulanan yang biasa kita berikan dari tamu menginap,” kata Rita lagi.

Rita bersyukur karena bisnis utamanya menjual kunci elektronik yang sudah dijalaninya selama 20 tahun terakhir masih bisa memberikan penghasilan meski terganggu.

“Bisnis utama saya juga sangat terganggu, karena customer kami kan hotel”.

Restoran sudah dibuka, tapi tamu hanya 10 persen

Lisa Pawestriningsih manajer di Restoran The House of Raminten di Yogyakarta.
Lisa Pawestriningsih manajer di Restoran The House of Raminten di Yogyakarta.

Foto: Supplied

Selain Bali, Yogyakarta adalah salah satu tujuan wisata utama di Indonesia, yang biasanya di bulan Juni – Juli, kota budaya ini akan dipenuhi dengan turis domestik karena bersamaan dengan masa libur sekolah.

Sampai hari ini tercatat 237 kasus COVID-19 dan 8 kematian di Yogyakarta.

Kehidupan di bulan Juni ini sudah mulai menggeliat lagi, salah satunya karena restoran yang dizinkan buka kembali dengan aturan jam buka baru.

Seperti restoran masakan Jawa ‘The House of Raminten’, yang salah seorang manajernya adalah Lisa Pawestriningsih.

Sekarang, menurut Lisa, rata-rata yang datang hanya sekitar 20 orang, padahal kapasitas restoran tersebut bisa memuat 200 orang.

Karena itu, pihak restoran memberlakukan pengurangan karyawan dan pengurangan jam kerja.

“Kami hanya masuk 15 hari dalam sebulan. Dan gaji yang kami terima mungkin hanya cukup untuk beli bensin,” kata Lisa lagi.

Lisa menambahkan sejak dibuka kembali restorannya harus mengikuti aturan yang berlaku, seperti jam beroperasi.

“Biasanya restoran kami buka 24 jam tapi kami beroperasi hanya sampai jam 22.00.”

“Ini karena batas akhir dari pemda hanya sampai jam 23.00 di mana restoran dan tempat hiburan harus tutup,” kata Lisa lagi.

Restoran seperti House of Raminten juga harus memenuhi protokol kesehatan.

“Kita yang buka pun selalu ada pengawasan dari Satpol PP. Dari buka hingga sekarang kita sudah didatangi kira-kira 3 kali.” kata Lisa.

Edukasi ‘new normal’ di masyarakat

Suasana di Black Penny Sunset Bar di Gili Terawangan (Lombok) 14 Maret 2020 beberapa hari sebelum lockdown.
Suasana di Black Penny Sunset Bar di Gili Terawangan (Lombok) 14 Maret 2020 beberapa hari sebelum lockdown.

Foto: Supplied

Kegiatan ekonomi secara sproradis sudah berlangsung di beberapa kawasan wisata termasuk di Bali seperti yang dikatakan oleh Made Gunarta, seorang pengusaha yang juga adalah Ketua ‘Bali Spirit Festival’ yang pelaksanaannya terpaksa ditunda dari akhir Maret lalu.

“Ada beberapa usaha kami yang tetap buka selama ini seperti Kafe, Kebun Bistro dan Yoga shop walau dalam keadaan terbatas dan dengan prosedur sesuai dengan protokol penanganan COVID-19,”

“Namun belum ada pasokan wisatawan yang baru,” kata Gunarta.

Menurut Made Gunarta, yang lebih penting sekarang ini bukanlah kapan semua kegiatan ekonomi akan dibuka lagi, melainkan kesiapan edukasi ‘new normal’ di masyarakat.

“Keberadaan virus kan tidak mungkin dihilangkan..jadi yang penting bagaimana sekarang mendidik masyarakat untuk senantiasa berhati-hati dan menyadari bahwa virus itu ada,” kata Made Gunarta.