ABC

Ketua HIPMI Ajak Mahasiswa Indonesia di Australia Jadi Pengusaha

Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Bahlil Lahadalia mengatakan Indonesia membutuhkan lebih banyak pengusaha untuk dapat menjaga kedaulatan ekonomi bangsa.

Bahlil mengajak para mahasiswa Indonesia, termasuk yang sedang studi di Australia untuk menjadi pengusaha. Ajakannya ini disampaikan saat membuka konferensi Perhimpunan Pelajar Indonesia di Australia, atau PPIA, hari Jumat (3/7/2015) di Melbourne.

Kepada para peserta konferensi, Bahlil mengatakan bahwa jumlah pengusaha di Indonesia masih kurang jika dibandingkan dengan jumlah total penduduk. 

"Saat itu jumlah pengusaha kita di Indonesia hanya 1,3 persen dari jumlah penduduk, idealnya sekitar 2 persen," kata Bahlil. "Di Malaysia jumlah pengusahanya sekitar 4-5 persen, sementara di Singapura hampir 7 persen dari jumlah penduduk."

Bahlil menyayangkan bahwa masih banyak mahasiswa yang berkeinginan untuk menjadi karyawan usai lulus kuliah. Dari survei yang baru-baru ini dilakukan di sebuah institusi pendidikan, ditemukan hampir 83 persen mahasiswa ingin bekerja di bawah orang lain. 

"Menjadi karyawan adalah berada di zona nyaman, tetapi menjadi pengusaha adalah pilihan yang lebih baik. Membuka lapangan pekerjaan kepada orang lain, dan memberikan gaji kepada orang lain, ketimbang menunggu digaji," ujar Bahlil yang pernah berjualan kue dan menjadi sopir angkot.

Menurutnya, HIPMI paham betul bahwa ada beberapa alasan utama mengapa mahasiswa enggan menjadi pengusaha.

"Alasan kebanyakan adalah kurang modal, kemampuan memasarkan, dan kurang keterampilan," jelas Bahlil. "Karenanya saya dan teman-teman mencoba untuk terus menggolkan rancangan undang-undang pengusaha pemula, yang nantinya bisa menjadi proteksi bagi anak-anak muda."

Bahlil menegaskan bahwa tidak ada yang tidak mungkin dalam hidup ini. Bahlil yang berasal dari Papua, dan menjadi Ketua HIPMI pertama yang berasal dari Papua, telah banyak merasakan pahitnya kehidupan sebelum menjadi pengusaha sukses.

Suasana pembukaan konferensi PPIA oleh Dubes RI di Australia, Nadjib Riphat Kesoema. Foto: Erwin Renaldi

Ayahnya dulu berprofesi sebagai kuli bangunan dan ibunya sebagai tukang cuci telah menyebabkan Bahlul terbiasa untuk membanting tulang membantu keluarganya. Ia bersekolah di SMEA dan pernah menjadi sopir angkot, tapi berhasil hingga jenjang Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Port Mumbai.

Kesuksesannya diawali saat ia menjadi kontraktor di industri pertambangan. Kini perusahaannya telah merambah ke bidang konstruksi, transportasi, properti.

"Intinya adalah jangan menyerah, dan tidak ada yang instan dalam menjadi pengusaha. Ini yang kadang menjadi masalah bagi anak muda, ingin segalanya serba instan tanpa proses," ujarnya.

"Marilah bagi adik-adik semua setelah kuliah di Australia selesai, Indonesia membutuhkan 1,6 juta pemuda untuk menjaga kedaulatan Indonesia," tegasnya. "Menguasai pangsa pasar Indonesia juga berarti menguasai pasar Asia Tenggara."

Bahlil saat berbagi pengalaman hidupnya menjadi pengusaha. Foto: Erwin Renaldi

Konferensi PPIA 2015 yang digelar di kampus RMIT Melbourne dihadiri oleh para anggota dan perwakilan dari PPIA di setiap negara bagian di Australia.

Acara ini pun dibuka oleh Duta Besar Republik Indonesia untuk Australia, Nadjib Riphat Kesoema.

"Mahasiswa Indonesia di Australia sangat dikenal sebagai mahasiswa yang baik, santun, dan tidak pernah membuat onar," ujar Nadjib. "Mahasiswa juga adalah duta bangsa, juru bicara, dan perpanjangan tangan dari negara, maka tunjukkanlah bahwa kita berasal dari negara yang besar."

Menurut Nadjib saat ini ada hampir 17.900 pelajar asal Indonesia di Australia, jumlah paling besar di dunia.

Ia pun menyampaikan rasa bangganya dengan sejumlah lulusan Australia yang menduduki jabatan penting di Indonesia dari wakil rakyat di Senayan hingga Menteri, termasuk mereka yang pernah aktif bersama PPIA, seperti mantan wakil presiden RI, Boediono.

Tarian Saman membuka konferensi PPIA di RMIT, Melbourne. Foto: Erwin Renaldi