ABC

Indonesia Bisa Belajar Atasi Penyakit Kronis Akibat Rokok Dari Australia

Penyakit kronis, seperti kanker dan serangan jantung, tak hanya menggerogoti kesehatan tapi juga mengancam keamanan finansial penderitanya. Lebih dari itu, penyakit kronis ternyata berdampak terhadap perekonomian suatu negara, bahkan untuk negara seperti Australia.

Untuk mengatasi dampak luas penyakit kronis, yang salah satu faktor penyebabnya adalah kebiasaan merokok, Pemerintah bisa melakukan langkah preventif.

Menurut data tahun 2016 yang dirilis Institut Kesehatan dan Kesejahteraan Australia (AIHW) di Canberra, ada lima penyebab utama kematian di Australia. Mereka adalah penyakit jantung koroner, demensia dan Alzheimer’s, penyumbatan darah ke otak atau stroke, kanker paru, dan penyakit paru-paru akut.

Ada belasan faktor risiko yang turut menyumbang terjadinya penyakit-penyakit tersebut, lima di antaranya tergolong perilaku gaya hidup yang bisa dicegah.

Profesor Danny Liew dari Monash University menuturkan, kebiasaan merokok termasuk salah satu faktor penyumbang terbesar.

Merujuk data AIHW di tahun yang sama, Profesor di bidang Penelitian Hasil Klinis itu mengatakan, merokok berkontribusi sebesar 9 persen dari faktor penyumbang yang bisa dicegah, tertinggi di antara perilaku lainnya seperti konsumsi alkohol, obesitas dan kurangnya aktivitas fisik.

Sebagai pembanding, di tahun 2003, AIHW melaporkan bahwa merokok berkontribusi sebesar 7,8 persen dari faktor penyebab penyakit yang bisa dicegah dan menjadi penyebab dari 15.551 kematian di Australia.

Selain itu, aktivitas merokok menyumbang sebesar 20,1% dari faktor penyebab kanker dan 9,7 persen dari faktor penyebab penyakit jantung.

Smoking Prevalence in Indonesia.
Jumlah mereka yang merokok naik dari tahun ke tahun di Indonesia

Supplied; Danny Liew

Profesor Danny mengatakan, Indonesia seharusnya bisa belajar dari Australia mengenai hal itu. Apalagi mengingat jumlah perokok di Indonesia yang masih cukup tinggi.

“Sekitar 80 persen dari laki-laki di Indonesia merokok. Sementara untuk perempuan jumlahnya kurang dari 5 persen. Berdasarkan data, makin tahun, laki-laki di Indonesia makin banyak yang merokok,” jelasnya dalam sebuah kuliah tamu di Jakarta, medio November lalu.

Kepada Nurina Savitri dari ABC, ia lalu menunjukkan laporan terbaru dari Bank Dunia dan Kementerian Kesehatan Indonesia tentang Biaya Kesehatan dan Ekonomi dari Tembakau di Indonesia.

Laporan itu menyebut adanya kerugian makro-ekonomi dari aktivitas merokok di tahun 2015.

Kerugian itu termasuk pengeluaran untuk membeli rokok sebesar Rp 208,83 Triliun; kehilangan masa produktivitas akibat keadaan tidak sehat, disabilitas dan kematian usia muda senilai Rp 374,06 Triliun; pengeluaran medis terkait penyakit akibat rokok sebesar Rp 13,67 Triliun.

“Dari ilustrasi itu, Indonesia bisa belajar dari Australia dalam hal mengontrol faktor penyebab penyakit yang bisa dicegah dengan kampanye kesehatan yang lebih baik,” ujar Profesor yang saat ini tengah bekerja dengan sejumlah mitra Indonesia untuk memperkirakan sejumlah penyakit yang bisa dicegah akibat aktivitas merokok, diabetes dan obesitas di Indonesia, studi yang ia duplikasi dari studi serupa di Australia.

Smoking prevalence comparison.
Perbandingan jumlah perokok di tiga negara ASEAN

Supplied; Danny Liew

Profesor Danny lebih lanjut menjelaskan, Australia telah melakukan kampanye anti-merokok selama bertahun-tahun.

“Dan tingkat merokok di Australia telah menurun drastis, hanya ada kelompok kecil yakni perempuan muda yang sedikit naik, tapi semua kelompok demografi benar-benar telah mengurangi aktivitas merokok.”

Ia tak membantah, meski hingga saat ini kampanye anti-merokok terus berlangsung di Australia, sulit untuk mengetahui metode mana yang paling efektif.

“Ada pendekatan multiplatform yang digunakan, mulai dari iklan, pajak, kemasan, dan sebagainya. Saya pikir di Indonesia, tak ada priorotas lain yang lebih mendesak ketimbang menghentikan banyak laki-laki untuk merokok.”

 Prof Danny lantas menuturkan, “Saya paham dampak industri rokok terhadap perekonomian Indonesia.”

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sudah saatnya masyarakat dan pemerintahan di berbagai belahan dunia, tak hanya di negara maju, melihat kesehatan sebagai investasi bukannya pengeluaran.

“Australia menghabiskan sekitar 160 miliar dolar per tahun untuk sistem kesehatan, sekitar 10 persen dari produk domestik bruto kami. Itu seharusnya dilihat sebagai investasi, karena kesehatan berhubungan erat dengan produktivitas.”

*ABC akan menerbitkan artikel lanjutan mengenai topik ini dengan hasil wawancara bersama Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) RI, Pungkas Bahjuri Ali, Ph.D.