ABC

Belajar dari Muslim Kosmopolitan di Australia

Ujian dan tantangan terbesar hubungan antara peradaban Islam dan Barat terjadi pasca Peristiwa 9/11. Inilah pengalaman intelektual Muslim asal Indonesia saat berkunjung ke Australia melihat bagaimana kehidupan umat Islam di sana.

Menurut Haynes (2007) dan Thomas (2005), di era setelah peristiwa 9/11, kajian mengenai peran agama dan tokoh-tokoh agama (religious actors) dalam hubungan internasional mengalami peningkatan. Hal senada juga disampaikan Duncan (2006) dan Kegley dan Wittkopf (2001) yang melihat kebijakan “intermestic” (international domestic), yaitu apabila sebuah kebijakan melibatkan agama, maka kebijakan tersebut dipengaruhi oleh faktor internasional dan domestik (Rakhmati, 2009:1).

Melihat fenomena di atas, Nurhaidi Hasan (2012:IV) salah satu pengamat radikalisme Islam Indonesia juga menyatakan bahwa sejak peristiwa 9/11 perhatian para pengamat dan masyarakat dunia terhadap agama Islam tumbuh pesat. Menurutnya  perhatian terpusat pada Islam politik, sebuah konsep yang sudah lebih dahulu berkembang di kalangan sarjana dan pemerhati dunia Islam menyusul terjadinya revolusi Iran pada 1979.

Menurutnya, sebagai gejala modern yang memperlihatkan persinggungan antara agama dan politik berhadapan dengan arus perubahan sosial, Islam politik melahirkan berbagai varian pemikiran, aksi dan gerakan. Salah satunya adalah pemikiran, aksi dan gerakan yang menghendaki perubahan secara radikal, sehingga melahirkan radikalisme Islam.

Apa itu radikalisme Islam? Dalam “Bukunya Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep, Geneologi, dan Teori”, Nurhaidi Hasan mendefinisikan radikalisme Islam sebagai varian dalam Islam politik yang menginginkan perubahan radikal dalam sistem politik ataupun masyarakat, bahkan jika perlu dengan jalan kekerasan.

tiga.jpg
Mengunjungi Masjid Gallipoli Mosque di daeha Auburn.

(Foto: Australia-Indonesia Muslim Exchange Program)

Menurutnya, radikalisme Islam memiliki dua ciri penting yaitu pertama, visi tentang tatanan politik Islam yang menolak legitimasi negara- bangsa berdaulat modern dan berupaya mendirikan pemerintahan pas-Islam ataupun merevitalisasi sistem kekhalifahan. Kedua, penekanan terhadap perjuangan kekerasan (jihad) sebagai metode utama dan bahkan satu-satunya yang dianggap sah untuk mewujudkan politik.

Islam Kosmpolitan Obat Radikalisme

Radikalisme Islam memang bukan Islam yang sebenarnya. Semua umat Muslim di dunia tidak setuju dengan pandangan dan gerakan radikal, bahkan kita wajib mengutuk semua gerakan radikal yang berujung pada teror dan kekerasan, hal ini tentu malah merusak citra Islam dan umat Islam yang lain karena “kena getahnya”.

Tumbuhnya radikalisme Islam tentu banyak faktor, adanya ketimpangan ekonomi, kurangnya akses pendidikan atau selalu ada perasaan terdzolimi dan solidaritas yang tinggi ketika melihat konflik Timur Tengah yang mayoritas korban adalah umat Muslim. Hal ini menjadi tantangan kita semua agar arif dan bijak dalam menyikapinya. Bukan dengan mengambil jalan pintas dengan mengamini jalan kekerasan dan teror.

Islam Kosmopolitan dalam hal ini bisa menjadi salah satu obat untuk menyikapi pemikiran dan gerakan Islam radikal yang cenderung berfikir pendek dan tertutup, kaku, hanya fokus pada satu teks dan kurang gaul. Kalau kita melihat arti kosmopolitan dalam kamus KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) yaitu pertama, mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas, kedua, orang-orang atau unsur-unsur yang berasal dari pelbagai bagian dunia.

Sedangkan definisi Islam Kosmopolitan menurut intelektual Muhammadiyah Najib Burhani (2016), adalah kesadaran bahwa umat Islam adalah bagian dari warga dunia yang memiliki rasa solidaritas kemanusiaan universal dan rasa tanggung jawab universal kepada sesame manusia tanpa memandang perbedaan dan pemisahan jarak yang bersifat primordial dan konvensional.

Ide tentang Islam Kosmopolitan semakin dalam dikaji oleh Khairudin Aljuned salah satu profesor di National University of Singapore dalam bukunya “Muslim Cosmopolitanism: Southeast Asian Islam in Comperative Politics” (2016). Menurutnya pertama, umat Islam masa kini lebih memikirkan kelompok mereka sendiri saja daripada berfikir secara universal, kedua, seharusnya umat Muslim harus dapat menerima pemikiran dari berbagai kalangan, “ideas are tools, and you put it when don’t”. Ketiga, menjadi Islam yang cosmopolitan dinilai penting karena dengan begitu umat muslim tidak tertinggal dari dunia luar,  harus mampu untuk lebih membuka diri dan tidak hanya fokus pada satu kelompok.

empat.jpg
Berkunjung ke komunitas lintasagama di Canberra.

(Foto: Australia-Indonesia Muslim Exchange Program)

Belajar dari Australia

Dari tanggal 15-30 April 2017 penulis terpilih sebagai salah satu delegasi pertukaran tokoh pemuda muslim Australia-Indonesia 2017 (AIMEP 2017) yang diadakan oleh Asutralia-Indonesia Institute bekerjasama dengan Universitas Paramadina dan Kedutaan Besar Asutralia di Jakarta.

Walaupun terlihat singkat namun dalam satu hari kami bisa mengunjungi dan berdiskusi dengan tiga sampai empat komunitas beragama baik Muslim maupun non Muslim dari mulai lembaga pendidikan, pusat kajian dari berbagai agama, forum lintas agama, tempat beribadah, pusat pemuda lintas agama, dan pemerintah lokal (state) yang mengurusi kebijakan pendidikan dan multikultularisme di tiga kota besar, Melbourne, Canberra dan Sydney.

Bahkan yang membuat kami terkesan adalah ketika mengunjungi Museum Islam yang berada di Melboune. Walaupun bangunan ini baru, semua tentang Islam dari A sampai Z ada disini dengan sentuhan seni yang tinggi sehingga membuat pengunjung Non-Muslim bisa  mengenal islam sembari menikmati keindahan seni dalam Islam itu sendiri, wonderful! Dan bisa dikatakan inilah dakwah Islam yang kekinian. Musium ini juga mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Australia baik dana maupun fasilitas lainya.

Walaupun penulis baru setengah perjalanan, (yang sudah kami kunjungi baru kota Melborne dan kota Canberra). Penulis melihat ada beberapa hal penting yang bisa dipelajari dari kondisi atau hubungan umat Muslim sebagai minoritas dengan warga sekitar maupun dengan pemerintah Australia. Pertama, adanya political will yang serius dari pemerintah Australia dalam membuat  kebijakan khususnya dalam kebijakan Multikulturalisme.

Seperti di Negara bagian Victoria, sadar bahwa mereka terdiri dari berbagai latar belakang baik agama dan bangsa, mereka mengeluarkan kebijakan “Multicultural Policy Statement”. Nilai-nilai yang harus dipatuhi oleh semua warga Victoria seperti, penegakan hukum untuk semua warga tanpa memandang latar belakang, kebebasan dalam berekspresi termasuk kebebasan beragama dan berbudaya dengan adat masing-masing, menolak diskriminasi, keadilan untuk semua warga dan merayakan kebanggaan menjadi bagian dari warga Victoria Australia.

lima.jpg
Berjumpa dengan anggota Australia-Indonesia Muslim Foundation dalam acara barbeque di Canberra.

(Foto: Australia-Indonesia Muslim Exchange Program)

Kedua, pemerintah Australia sangat sadar bahwa pendidikan adalah kunci dalam membangun harmoni. Ada empat hal yang membuat penulis terkasan dalam membangun karakter siswa dan cara berpikir yang dikedepankan dalam kurikulum pendidikan di Victoria yaitu semenjak usia dini para siswa harus memiliki critical thingking (berfikir kritis), open minded (pemikiran yang terbuka), interpersonal skill (kemampuan “berkomunikasi” dengan dua orang atau lebih) dan ethic (etika/prilaku). Dengan empat modal di atas, para siswa di Australia diharapkan mampu menguatkan kebijakan pemerintah dalam kebijakan Multikulturalisme.

Ketiga, adanya creative minority, sebagai warga minoritas di Australia, umat Muslim di Australia tidak tinggal diam dan tertutup. Mereka terus berupaya membangun kohesi sosial dengan masyarakat yang lain dengan membuat karya maupun menjadi publik figure berprestasi seperti Walled Aly (presenter sedang naik daun ) sehingga menginspirsi bagi semua kalangan.

Sebagai contoh dari creative minority adalah  pembangunan Musium Islam di Melbourne adalah upaya kreatif dari umat Muslim di Victoria untuk mengenalkan Islam secara kaffah (lengkap) dari mulai berdiri dan persebaran Islam hingga Australia.
Di dalam museum tersebut tentu terdapat pesan-pesan dan bukti bahwa Islam adalah agama yang damai dan mampu merajut kebersamaan. Mereka yang menjadi minority creative bisa dikatakan merupakan bagian dari Muslim Kosmpolitan, tetap teguh pada ajaran Islam namun mampu berpikir terbuka, menghormati perbedaan, dan berdakwah dengan cara yang elegan dalam membangun peradaban Islam.

* Fahmi Syahirul Alim – Program Manager ICIP, Kader Muda Muhammadiyah, Delegasi Pertukaran Tokoh Pemuda Muslim Indonesia Australia 2017. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.