ABC

Bagi Tips Beli Rumah $1, Perusahaan Ini Dituduh Langgar UU Konsumen

Seorang pengusaha yang mengklaim bahwa kliennya bisa “membeli rumah seharga $ 1 (atau setara Rp 10 ribu)” terlibat dalam tindakan yang menyesatkan dan menipu, serta bertentangan dengan Undang-Undang Konsumen Australia.

Perusahaan We Buy Houses (WBH) milik Rick Otton memiliki omset lebih dari $ 20 juta (atau setara Rp 200 miliar).

Antara bulan Januari 2011-Juni 2014, 3.400 orang menghadiri seminar gratis, 2.000 orang membayar untuk menghadiri sebuah kamp pelatihan untuk mempelajari lebih banyak informasi, dan 700 lainnya mengikuti kursus yang lebih mahal dengan mentor.

Namun saat ini, seorang Hakim Pengadilan Federal Australia menemukan, Otton dan WBH melanggar Undang-Undang Konsumen Australia.

Hakim Jacqueline Gleeson menyimpulkan bahwa tidak ada bukti bahwa strategi yang dibuat oleh direktur tunggal dan perusahaannya itu bisa memungkinkan konsumen untuk membeli rumah seharga $ 1 (atau setara Rp 10 ribu) dan bahwa seminar WBH yang dihadiri mahasiswa adalah aktivitas “buang waktu yang mahal”.

"Tajuk utama ‘bagaimana membeli rumah seharga $ 1’ menunjukkan bahwa WBH dan Otton menargetkan usaha mereka terutama kepada orang-orang yang tidak memiliki kekayaan properti, namun siapa yang tertarik pada gagasan bahwa mereka bisa menghasilkan uang dari properti tanpa harus membayar sejumlah uang yang signifikan untuk hal itu," kata Hakim Gleeson.

“Pesannya sensasional. Itu dirancang untuk menarik perhatian konsumen yang tak memiliki sumber keuangan cukup untuk membeli rumah dengan menggunakan pembiayaan bank kebanyakan.”

Kegiatan buang-buang waktu

Komisi Persaingan dan Konsumen Australia [ACCC] telah menuduh bahwa klaim lebih lanjut WBH -yang menyebut konsumen bisa membeli rumah tanpa memerlukan deposit, pinjaman bank atau pengalaman, segera mulai menghasilkan keuntungan, dan menciptakan kekayaan -juga menyesatkan dan menipu.

Keputusan Hakim Gleeson mengatakan bahwa konsumen yang tertarik pada WBH diberi berbagai strategi dan tip untuk mendapatkan kepemilikan properti -beberapa di antaranya termasuk “rent to buy” (menyewa untuk membeli), “opsi sewa sandwich” yang melibatkan opsi perantara, dan opsi “ekuitas tenaga” di mana pembeli melakukan renovasi sebagai pengganti membayar deposit.

Para calon investor akan diberikan beberapa informasi pada sesi gratis di awal, kemudian diberi lebih banyak jika mereka membayar $ 3.000 (atau setara Rp 30 juta) untuk menghadiri kamp pelatihan dan $ 26.000 (atau setara Rp 260 juta) untuk mengikuti lokakarya pembinaan.

“Bagi konsumen biasa yang mencari cara untuk mencapai hasil yang dijanjikan … seminar gratis itu membuang-buang waktu,” kata Hakim Gleeson.

"Bagi konsumen biasa, program kamp pelatihan dan Go Direct menghabiskan banyak waktu."

Hakim Gleeson menerima bahwa beberapa strategi WBH secara teoritis memungkinkan, namun menambahkan bahwa tidak ada bukti bahwa cara itu telah digunakan oleh siswa-siswanya dengan sukses.

Tak satu pun dari siswa WBH paling sukses, yang dikenal sebagai “kahunas besar”, memberikan bukti ke pengadilan untuk menunjukkan apa yang mereka klaim telah tercapai, dan meski sejumlah testimoni diajukan ke pengadilan, hakim mengatakan bahwa tidak ada bukti adanya klaim tentang hal itu.

Menyaksikan pembicaraan seputar kegagalan

ACCC memanggil sembilan konsumen sebagai saksi untuk menggambarkan bagaimana mereka menghadiri sesi WBH namun tidak pernah mencapai kesuksesan dengan menerapkan apa yang mereka pelajari.

Pengacara WBH mengatakan bahwa orang-orang yang tidak bisa menjalankan strategi, mereka tidak bertahan, menerapkan strategi itu untuk properti komersial, mencoba untuk membeli properti yang terlalu mahal, atau mencoba menggabungkan strategi melawan saran yang diberikan.

Selama proses pengadilan, keberhasilan investasi Otton sendiri dan representasi yang ia buat mengenai hal itu dipertanyakan secara ekstensif.

“Meskipun mengklaim bahwa Otton telah sukses secara finansial ‘dalam mengikuti gagasan dan strategi ini’, hampir tidak ada bukti bahwa Otton dan WBH telah menggunakan strategi tersebut, apalagi menggunakannya untuk menghasilkan uang,” kata Hakim Gleeson.

"Tidak ada bukti bahwa responden telah membeli properti sejak 2006.”

“Saya menyimpulkan bahwa, pada kenyataannya, strategi responden tidak dan tidak mampu memungkinkan konsumen membeli rumah tanpa memerlukan deposit, pinjaman bank atau pengalaman perumahan.”

Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.

Diterbitkan: 16:01 WIB 11/08/2017 oleh Nurina Savitri.