ABC

16 Seniman Indonesia Tampilkan Karyanya di Festival Seni Multikultur Australia

Festival seni multikultur yang bernama 'Mapping Melbourne' digelar untuk memperkenalkan seni budaya kontemporer Asia di Indonesia. Tahun ini menjadi spesial karena para seniman Indonesia mendapat tempat khusus lewat sebuah pameran bersama.

SHOUT! adalah pameran seni yang digelar untuk menampilkan karya seni dari para seniman, termasuk seniman muda, untuk mengilustrasikan perkembangan seni dan kondisi terkini di Indonesia.

Pertama kali digelar di Museo d'Arte Contemporanea Roma (MACRO) di Rome pada tahun 2014, kini SHOUT! ditampilkan di Melbourne sebagai bagian dari festival multikultur 'Mapping Melbourne'.

16 seniman, kebanyakan dari Bandung dan Yogyakarta mendapat kesempatan untuk menampilkan instalasi seninya. Tentu saja bukan hal yang mudah untuk membawa karyanya ke Melbourne.

Berikut beberapa seniman asal Indonesia yang menceritakan karya seninya untuk para penikmat seni di Australia.

Andita Purnama

Instalasi yang ia beri nama Dark Voyage menggabungkan karyanya di tahun 2009 lewat sebuah tarian di kawasan pembuangan sampah. Saat itu ia melihat ternak-ternak, seperti sapi dan kambing mengkonsumsi sampah plastik.

"Sementara saya melihat sapi di Australia itu sangat gembira, mereka bisa hidup di luar kandang, ketika dipotong pun mendapat perlakuan baik," ujarnya.

Lewat karya seninya ini, ia ingin menyampaikan pesan untuk memperlakukan semua mahluk hidup dengan baik. "Ini adalah bumi kita dan harus menjaga sesama mahluk Tuhan, baik hewan dan tumbuhan."

 

 

Erika Ernawan

Seniman asal Bandung ini menciptakan karya seni interaktif yang akan melibatkan para pengunjungnya. Erika mengambil tema soal identitas dan tubuh.

"Manusia sejak lahir sudah menjadi 'obyek' dengan diberikan nama dan dibesarkan dengan tradisi, agama, dan kebiasaan tertentu. Saya mencoba bermain dalam pemberian identitas ini dan menciptakan estetika baru," jelasnya. 

Erika mengaku sangat senang bisa mengisi festival multikultur di Australia tapi ia sedikit khawatir. "Isu yang sedang ramai dibicarakan soal Muslim disini [Australia] dan bagaimana reaksi publik belum bisa diterka."

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Mulyana

Pemuda kelahiran Bandung yang kini menetap di Yogyakarta mengangkat kehidupan di bawah laut dalam karya seni rajutan. "Ini menjadi pengingat bahwa laut jika tidak dijaga dengan baik maka kekayaan dibawahnya akan musnah di kemudian hari," tegasnya.

Ia membutuhkan waktu tiga bulan untuk dapat membuat rumput laut, karang laut, dan mahluk di dalam airnya dalam rajutan.

"Rajutan saya pilih karena bisa dibawa kemana-mana dan fleksibel," kata Mulyana yang mengaku cuaca di Melbourne saat ini sedang enak dan terpukau dengan kebersihan kotanya.

 

 

Tisna Sanjaya

Seniman Indonesia yang namanya tidak asing lagi membawa proyek terbarunya, sebuah pusat kebudayaan Cigondewah. Cigondewah adalah nama sebuah desa di Jawa Barat, yang menurutnya terkenal indah, dengan sawah subur dan air yang bersih serta agamanya, yakni Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.

"Tapi akibat proses globalisasi, sekarang telah terjadi perubahan. Air menjadi kotor karena banyak plastik, sawah telah berganti menjadi pabrik plastik dan print yang limbahnya langsung dibuang ke sungai," jelasnya.

Ia pun merasa agama Islam yang ada disana telah seringkali mendapat bayaran 'politik' sehingga menjadi fragmantis dan kerap menimbulkan kericuhan diantara para penganutnya.

 

Erwin Windu Pranata

Erwin dikenal dengan karya seninya yang berbentuk kapsul atau dilapisi sesuatu. "Filosofinya bahwa dalam adat timur dan Islam, sesuatu yang dibungkus itu suci," katanya. "Orang meninggal, baik pejabat atau penjahat, akan sama-sama dibungkus dengan kain kafan. Selain itu ada tradisi dimana kalau beli sesuatu harus dibungkus."

Salah satu karya seninya adalah sebuah 'kostum' yang akan diisi udara hingga mengembang dan kemudian ia akan pakai.

"Saya ingin berbagi bahwa perasaan dan keadan apabila merasa nyama berada di satu ruangan yang nyaman dan terlindungi tetap akan merasa sesak, sunyi dan kesepian," ujar Erwin.

 

 

Patriot Mukmin

Seniman asal Jakarta yang tinggal di Bandung ini menyebut seninya sebagai seni optikal ilusi yang ada unsur politiknya. Ia mengangkat ingatannya di tahun 1998.

"Saya rasa memori itu ada tetapi tidak benar-benar ada, jadi optikal ini bisa terlihat jelas dan tidak jelas, seperti dalam karya seni yang saya buat."

Ia berharap masih perlu adanya peningkatan hubungan seni antara Indonesia dan Australia. "Saya berharap melalui momen ini dapat meningkatkan seniman Indonesia dan Australia, karena sebagai negara tetangga terdekat dan orang-oraang di Australia pun sangat menghargai seni, semoga ini juga terjadi di Indonesia."

 

 

SHOUT! akan digelar mulai 2 Desember hingga 22 Desember mendatang di The Meat Market Stables yang berada di kawasan North Melbourne. Beberapa instalasi, pelatihan, dan penampilan juga akan digelar di sejumlah tempat seperi di Sidney Myer Asia Centre di University of Melbourne, dan perpustakaan publik State Library of Victoria di jalan Swanston Melbourne.